Megawati Soekarnoputri Agama Apa
Jabatan pascakepresidenan
Sejauh ini, hanya Megawati yang merupakan mantan presiden Indonesia yang entah bagaimana mempertahankan pengaruhnya di pemerintahan yang berkuasa dan bahkan diangkat ke posisi strategis dengan kemampuan penasihat. Pada 22 Maret 2018, ia diangkat sebagai Ketua Panitia Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Ia juga menjabat sebagai Ketua Panitia Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional sejak 5 Mei 2021. Untuk yang terakhir, meskipun menjabat sejak 5 Mei 2021, ia dilantik secara resmi pada 13 September 2021.[58][59]
Pada 3 Oktober 2023, Megawati bertemu dengan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.[60]
Suami pertama Megawati adalah Letnan Satu Surindro Supjarso, yang dinikahinya pada 1 Juni 1968. Ia tewas dalam kecelakaan pesawat di Biak, Irian Barat, pada 22 Januari 1970. Pada 27 Juni 1972, ia menikah dengan Hassan Gamal Ahmad Hassan, seorang diplomat Mesir. Pernikahan itu dibatalkan oleh Pengadilan Agama kurang dari 3 bulan kemudian.[7] Ia kemudian menikah dengan Taufiq Kiemas pada 25 Maret 1973. Ia meninggal pada 8 Juni 2013.[61] Ia dikaruniai tiga orang anak, Mohammad Rizki Pratama, Muhammad Prananda Prabowo, dan Puan Maharani. Anak laki-lakinya berasal dari pernikahannya dengan Surindro, sedangkan Puan adalah anak tunggal dari pernikahan Megawati dengan Taufiq.[62][63]
Wakil presiden (1999–2001)
Sebagai wakil presiden, Megawati memiliki kewenangan yang cukup besar karena menguasai banyak kursi di DPR. Wahid mendelegasikan kepadanya masalah di Ambon, meskipun dia tidak berhasil.[20] Pada saat Sidang Tahunan MPR diselenggarakan pada Agustus 2000, banyak yang menilai Wahid tidak efektif sebagai presiden atau sebagai administrator. Wahid menanggapi hal ini dengan mengeluarkan keputusan presiden, yang memberi Megawati kendali sehari-hari atas pemerintahan.[20]
Pemilihan presiden tidak langsung 1999
Koalisi PDI-P Megawati dan PKB menghadapi ujian pertamanya ketika MPR berkumpul untuk memilih Ketuanya. Megawati memberikan dukungannya di belakang Matori Abdul Djalil, Ketua PKB. Ia dikalahkan habis-habisan oleh Amien, yang selain mendapat dukungan Poros Tengah juga didukung Golkar.[19] Koalisi Golkar dan Poros Tengah kembali menggebrak saat mengamankan pemilihan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR. Pada tahap ini, masyarakat menjadi khawatir bahwa Megawati, yang paling mewakili reformasi, akan dihalangi oleh proses politik dan status quo akan dipertahankan. Pendukung PDI-P mulai berkumpul di Jakarta.
Habibie membuat pidato yang kurang diterima tentang akuntabilitas politik yang membuatnya mundur. Pemilihan presiden yang dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 1999 berpihak pada Megawati dan Wahid. Megawati memimpin lebih dulu, tetapi disusul dan kalah dengan 313 suara dibandingkan dengan 373 suara Wahid. Kekalahan Megawati memicu para pendukungnya untuk memberontak.[19] Kerusuhan berkecamuk di Jawa dan Bali. Di kota Solo, massa PDIP menyerang rumah Amien.
Keesokan harinya, MPR berkumpul untuk memilih wakil presiden. PDI-P sempat mempertimbangkan untuk mencalonkan Megawati, tetapi khawatir koalisi Poros Tengah dan Golkar akan kembali menggagalkannya. Sebaliknya, PKB mencalonkan Megawati. Dia menghadapi persaingan ketat dari Hamzah Haz, Akbar Tanjung dan Jenderal Wiranto. Sadar akan kerusuhan itu, Akbar dan Wiranto mundur.[19] Hamzah tetap bertahan, tapi Megawati mengalahkannya 396 berbanding 284. Dalam pidato pelantikannya, dia menyerukan ketenangan.
Kepresidenan (2001–2004)
Pada tanggal 23 Juli 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencopot Wahid dari jabatannya dan kemudian mengangkat Megawati sebagai presiden baru.[27] Dengan demikian, dia menjadi wanita keenam yang memimpin negara berpenduduk mayoritas Muslim. Pada 9 Agustus 2001, dia mengumumkan Kabinet Gotong Royong.[28]
Munculnya ikon oposisi terhadap rezim Soeharto ke kursi kepresidenan pada awalnya disambut secara luas, namun segera menjadi jelas bahwa kepresidenannya ditandai dengan keragu-raguan, kurangnya arah ideologis yang jelas, dan "reputasi untuk tidak bertindak dalam isu-isu kebijakan penting".[29][30][31] Sisi baik dari lambatnya kemajuan reformasi dan menghindari konfrontasi adalah dia menstabilkan keseluruhan proses demokratisasi dan hubungan antara legislatif, eksekutif, dan militer.[29]
Reformasi yang dilakukan sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi agenda penting Megawati dalam memulihkan stabilitas politik dan demokrasi. Dalam melakukan hal tersebut, pemerintahannya mengesahkan 2 amandemen undang-undang dasar dengan amandemen ketiga pada 10 November 2001 dan amandemen keempat pada 1-11 Agustus 2002.[32] Amandemen-amandemen ini berkontribusi dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi[33] dan pembubaran Dewan Pertimbangan Agung.[32] Sebagai kontribusi terhadap amandemen ini, pemerintahannya telah merancang sejumlah undang-undang yang akan memenuhi amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terutama di bidang pemerintahan daerah, partai politik, dan pemilihan umum.[34]
Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menguraikan fokus pemerintahannya pada desentralisasi, di mana pelaksanaan otonomi daerah dilakukan secara adil untuk memberikan kewenangan kepada daerah-daerah dalam mengelola daerahnya masing-masing dengan tetap menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.[34] Dalam menjalankan otonomi tersebut dan untuk menjaga persatuan bangsa, pemerintahannya menerapkan kebijakan otonomi daerah yang proporsional dan konsisten, menerapkan perimbangan keuangan yang berkeadilan, meningkatkan pemerataan pelayanan publik yang mudah diakses, memperbaiki kesenjangan pembangunan ekonomi dan pendapatan daerah, serta menghargai nilai-nilai budaya daerah sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.[35]
Dalam memerangi korupsi yang merajalela yang diwariskan oleh Orde Baru, ia membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[36] Pembentukan KPK didasari oleh Megawati yang melihat bahwa banyak lembaga pada saat itu yang terlalu kotor, sehingga dibentuklah KPK. Jauh sebelum itu, gagasan awal pembentukan Komite Pemberantasan Korupsi muncul di era Presiden B.J. Habibie yang menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.[36]
Sejak pelantikannya, pemerintahan Megawati berusaha untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk membangun kembali ekonomi yang telah hancur sejak krisis finansial Asia 1997 dan krisis politik sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 hingga 2001. Pada masa awal pemerintahannya, Indonesia memiliki utang sebesar US$105,8 miliar yang merupakan warisan dari rezim rezim Soeharto.[37] Sebagai presiden, ia menghadiri pertemuan Paris Club dan London Club dalam upaya untuk menegosiasikan kembali utang Indonesia yang belum dilunasi, yang berujung pada penundaan pembayaran utang sebesar US$5,8 miliar pada pertemuan Paris Club pada 12 April 2002 dan menyiapkan pembayaran utang sebesar Rp116,3 miliar pada tahun 2003.[38]
Megawati memulihkan hubungan kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang sempat tertunda pada masa kepresidenan Wahid[39] dengan menugaskan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan Boediono dan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah untuk memenuhi 20 letter of intent dari IMF dan Bank Dunia yang berdampak pada pencairan pinjaman IMF sekitar SDR 400 juta untuk memperkuat posisi cadangan devisa untuk setiap LOI yang diterima.[38] Kemitraan ini sendiri berakhir pada tahun 2003 karena kritiknya terhadap saran-saran "membingungkan" dari IMF dan Bank Dunia dalam memulihkan ekonomi Indonesia.[40]
Pemerintahannya dikenal luas karena privatisasi badan usaha milik negara (BUMN).[41] Menurut Megawati, privatisasi BUMN dilakukan untuk mempertahankan BUMN dari intervensi dan pembayaran utang publik, meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi dari sektor swasta.[38][41] Sejumlah BUMN seperti Semen Gresik, Bank Negara Indonesia, Kimia Farma, dan yang paling kontroversial, Indosat diprivatisasi.[41][42] Dalam jurnalnya sendiri, upaya privatisasi yang dilakukan Megawati telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,1% dan menekan inflasi sebesar 5,06%.[38] Namun, privatisasi yang dilakukannya terhadap BUMN, terutama pada Indosat, menuai kritik dan Megawati dituduh sebagai seorang neolib.[43]
Salah satu fokus pembangunan nasional dan sektor unggulannya adalah ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia. Pada tanggal 7 Juni 2003, Megawati di dalam KRI Tanjung Dalpele mencanangkan Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan (GERBANG MINA BAHARI). Intinya, gerakan ini menetapkan sektor Kelautan dan Perikanan, Pariwisata Bahari, Industri dan Jasa Maritim, serta Transportasi Laut sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional. Secara bersamaan, sektor-sektor pembangunan dan kebijakan ekonomi-politik lainnya mendukung sektor-sektor penggerak utama ini. Sementara itu, dasar pembangunan Kelautan dan Perikanan adalah Pembangunan Berkelanjutan, yaitu menyelaraskan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan pelestarian lingkungan.[38]
Pada tahun 2003, Megawati meluncurkan program reboisasi dalam bentuk Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rehabilitasi area terdegradasi yang semakin luas dan kerusakan hutan dan lahan yang terjadi.[35] Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Megawati memang sudah sejak lama menyukai tanaman. Rokhmin mengatakan bahwa hobi pribadinya itu juga yang membuat Megawati menjadi lebih sadar dan peduli terhadap kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan.[44]
Presiden petahana Megawati Soekarnoputri adalah calon teratas PDI-P, berusaha untuk menjadi wanita pertama yang terpilih sebagai kepala negara di negara mayoritas Muslim. Ia didampingi oleh calon wakil presiden Hasyim Muzadi, ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Pasangan calon ini diberi nomor urut 2 untuk surat suaranya. Namun, ia dikalahkan secara telak oleh Susilo Bambang Yudhoyono di putaran kedua, dengan selisih 61 persen berbanding 39 persen,[27] pada 20 September 2004. Ia tidak menghadiri pelantikan presiden baru, dan tidak pernah mengucapkan selamat kepadanya.[45]
Pada 11 September 2007, Megawati mengumumkan pencalonannya dalam pemilihan presiden 2009 di sebuah pertemuan PDI-P. Soetardjo Soerjoguritno menegaskan kesediaannya untuk dicalonkan sebagai calon presiden dari partainya.[46] Pencalonannya sebagai presiden diumumkan pada 15 Mei 2009, dengan pemimpin Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai pasangannya.[47]
Pemilihan Megawati 2009 dibayangi oleh seruannya untuk mengubah prosedur pendaftaran pemilih Indonesia, secara tidak langsung menunjukkan bahwa para pendukung Yudhoyono mencoba memanipulasi suara.[48] Megawati dan Prabowo kalah dalam pemilihan dari Yudhoyono, berada di urutan kedua dengan 26,79% suara.[49]
Pada 24 Februari 2012, Megawati menjauhkan diri dari jajak pendapat[50][51] yang menempatkannya sebagai pesaing utama untuk pemilihan presiden 2014.[52] Megawati, masih Ketua Umum PDI-P, mengimbau partainya dalam pertemuan di Yogyakarta untuk fokus pada prioritas PDI-P saat ini. Meskipun demikian, nama domain tampaknya telah terdaftar atas namanya.[53] Pada 27 Desember 2012, edisi harian The Jakarta Post mengisyaratkan kemungkinan rekonsiliasi dalam pemilihan umum 2014 antara keluarga Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan partai politik mereka, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokratnya masing-masing.[54]
Untuk pemilihan umum 2014, partai Megawati dan mitra koalisinya mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden. Jokowi mengalahkan lawannya Prabowo Subianto dalam pemilihan yang diperebutkan.[55] Belakangan, hubungan Megawati dan Widodo menjadi tegang ketika dia mendorong Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan untuk jabatan Kapolri, meskipun dia diselidiki karena korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Budi Gunawan adalah Ajudan Megawati selama masa jabatannya sebagai presiden Indonesia.[56]
Pada Muktamar Nasional PDI-P ke-4 tanggal 20 September 2014, Megawati diangkat kembali sebagai Ketua Umum PDI-P untuk tahun ajaran 2015–2020.[57]
Kongres Nasional PDI-P tahun 2000
Kongres Pertama PDI-P diadakan di Semarang, Jawa Tengah, pada bulan April 2000, di mana Megawati terpilih kembali sebagai Ketua untuk masa jabatan kedua.[21] Megawati mengkonsolidasikan posisinya dalam PDI-P dengan mengambil tindakan keras untuk menyingkirkan calon pesaing.[22] Dalam pemilihan Ketua, muncul dua calon lain; Eros Djarot dan Dimyati Hartono. Mereka mencalonkan diri karena tidak ingin Megawati merangkap sebagai ketua dan wakil presiden. Pencalonan Eros dari cabang Jakarta Selatan batal karena masalah keanggotaan. Eros tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam Kongres. Kecewa dengan apa yang dia anggap sebagai kultus kepribadian yang berkembang di sekitar Megawati, Eros meninggalkan PDI-P. Pada Juli 2002, ia membentuk Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia. Meski pencalonan Dimyati tidak ditentang sekeras Eros, ia dicopot sebagai Kepala Cabang Pusat PDI-P. Dia mempertahankan posisinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi meninggalkan partai untuk menjadi dosen universitas.[23] Pada April 2002, Dimyati membentuk Partai Indonesia Tanah Air Kita.[24]
Hubungan dengan Wahid dan naik ke kursi kepresidenan
Megawati memiliki hubungan ambivalen dengan Wahid. Pada reshuffle Kabinet Agustus 2000 misalnya, Megawati tidak hadir untuk mengumumkan susunan baru.[25] Pada kesempatan lain, ketika gelombang politik mulai berbalik melawan Wahid, Megawati membelanya dan mengecam para kritikus.[26] Pada tahun 2001, Megawati mulai menjauhkan diri dari Wahid ketika Sidang Istimewa MPR mendekat dan prospeknya menjadi presiden meningkat. Meski menolak berkomentar secara spesifik, dia menunjukkan tanda-tanda mempersiapkan diri, mengadakan pertemuan dengan para pemimpin partai sehari sebelum Sidang Istimewa dimulai.
Perjalanan pendidikan
Pranala ke artikel terkait
The 13th World Chinese Entrepreneurs Convention Opened in Bali, Indonesia (English)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespon pernyataan dari Ketus Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang akan mendatangi lembaga antirasuah tersebut jika Sekjennya, Hasto Kristiyanto ditangkap.
Dari riwayat yang ada, Hasto Kristiyanto tercatat pernah diperiksa dalam proses penyidikan kasus dugaan suap yang menjerat mantan kader PDI Perjuangan, Harun Masiku.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika mengaku jika penyidik sudah melakukan langkah penyidikan sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Saya tidak bisa mengomentari terkait hal itu ya, karena kembali penyidik akan melaksanakan kegiatan secara prosedural sesuai dengan aturan hukum yang ada," kata Tessa kepada wartawan dikutip Jumat (13/12/2024).
Menurutnya, semua pihak yang dilakukan penyidikan oleh penyidik bisa diproses hukum jika ditemukan alat bukti yang cukup dan tidak bisa mengada-ada.
Di sisi lain, Tessa mengatakan ada pengawasan ketat yang dilakukan Dewan Pengawas (Dewas) terhadap yang dilakukan oleh KPK.
"Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh KPK khususnya penindakan akan dilaksanakan sesuai aturan hukum yang ada," ucapnya.
Sebelumnya, dikutip dari Kompas.com, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengungkapkan keprihatinannya terhadap penyidikan kasus korupsi yang melibatkan mantan kader partainya, Harun Masiku, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam proses penyidikan tersebut, KPK telah beberapa kali memanggil Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto untuk memberikan keterangan sebagai saksi.
"Saya bilang, kalau Hasto itu ditangkap, saya datang. Saya enggak bohong. Kenapa? Saya ketua umum, bertanggung jawab kepada warga saya, dia adalah Sekjen saya," ujar Megawati dalam acara peluncuran buku “Pilpres 2024: Antara Hukum, Etika dan Pertimbangan Psikologis”, yang berlangsung pada Kamis (12/12/2024).
Dalam kesempatan tersebut, Megawati mendorong para praktisi hukum yang hadir untuk mengkritisi penanganan kasus Harun Masiku.
"Itu tahun 2019, coba ayo ahli hukum berani, hitung berapa semuanya yang ditahan," katanya.
Megawati juga menyoroti keanehan sikap dan cara berpakaian penyidik KPK, AKBP Rossa Purbo Bekti, saat memeriksa Hasto dan stafnya, Kusnadi.
Ia menduga Rossa menyadari bahwa tindakan yang diambilnya tidak sepenuhnya sesuai prosedur, termasuk saat menyita buku catatan dan ponsel pribadi Hasto dari tangan Kusnadi.
"Lalu saya bilang, siapa itu Rossa? Katanya ininya KPK, tapi masa pakai masker, pakai apa namanya topi sing ada depannya iku. Iya toh? Berarti dia sendiri kan takut karena dia menjalani hal yang enggak benar," ujar Megawati.
Kehidupan awal dan pendidikan
Megawati lahir di Yogyakarta dari pasangan Soekarno, yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari Belanda 2 tahun sebelumnya pada tahun 1945, dan Fatmawati, seorang keturunan bangsawan Inderapura, salah satu dari sembilan istri Soekarno. Megawati adalah anak kedua dan putri pertama Soekarno. Dia dibesarkan di Istana Merdeka ayahnya. Dia menari untuk tamu ayahnya dan mengembangkan hobi berkebun. Megawati berusia 19 tahun ketika ayahnya melepaskan kekuasaan pada tahun 1966 dan digantikan oleh pemerintahan yang akhirnya dipimpin oleh Presiden Soeharto.[6]
Megawati kuliah di Universitas Padjajaran di Bandung untuk belajar pertanian tetapi keluar pada tahun 1967 untuk bersama ayahnya setelah kejatuhannya. Pada tahun 1970, tahun ayahnya meninggal, Megawati pergi ke Universitas Indonesia untuk belajar psikologi tetapi keluar setelah dua tahun.[7]
Pada tahun 1986, Soeharto memberikan status Pahlawan Proklamasi kepada Soekarno dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh Megawati. Pengakuan Soeharto memungkinkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebuah partai yang didukung pemerintah, untuk mengkampanyekan nostalgia Soekarno menjelang pemilihan legislatif 1987. Selama ini Megawati melihat dirinya sebagai ibu rumah tangga, tetapi pada tahun 1987 ia bergabung dengan PDI dan mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[6] PDI menerima Megawati untuk mendongkrak citranya sendiri. Megawati dengan cepat menjadi populer, statusnya sebagai putri Soekarno mengimbangi kurangnya keterampilan berpidato. Meski PDI berada di urutan terakhir dalam pemilu, Megawati terpilih menjadi anggota DPR. Seperti semua anggota DPR, ia juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).[8]
Dr.(H.C.) Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau lebih dikenal dengan nama Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak dari presiden Indonesia pertama, Soekarno, yang kemudian mengikuti jejak ayahnya menjadi Presiden Indonesia.
Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunda Megawati, Fatmawati[1], adalah seorang gadis kelahiran Bengkulu di mana Soekarno dahulu pernah diasingkan pada masa penjajahan Belanda. Ia dilahirkan pada masa Agresi Militer Belanda. Pada waktu Soekarno diasingkan ke pulau Bangka, Fatmawati melahirkan seorang bayi yang dinamai Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 23 Januari 1947 di kampung Ledok Ratmakan, tepi barat Kali Code.
Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada diri Megawati Soekarnoputri. Karena sejak mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia pun selalu aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Karier politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI.
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
Pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain, dan memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan presiden adalah 373 banding 313 suara.
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.
Pada 2004, masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
Sepuluh tahun kemudian, Megawati dan PDI-P menunjuk Joko Widodo untuk maju dalam Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014. Akhirnya melalui proses pemilu yang cukup panjang, Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014 - 2019. Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI-P, Semarang, Jawa Tengah, 20 September 2014, Megawati ditunjuk kembali untuk menjadi Ketua Umum PDI-P periode 2015-2020.
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri (lahir 23 Januari 1947) adalah Presiden Indonesia kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 dan Wakil Presiden Indonesia kedelapan yang menjabat sejak 21 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan satu-satunya hingga saat ini,[2] dan menjadi Presiden Indonesia pertama yang lahir setelah Indonesia merdeka serta wanita kelima yang memimpin negara berpenduduk mayoritas Muslim. Setelah Wakil Presiden pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia setelah Gus Dur dicopot dari jabatannya pada tahun 2001. Ia mencalonkan diri kembali dalam Pemilu Presiden 2004, tetapi dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mencalonkan diri kembali dalam Pemilu Presiden 2009, tetapi dikalahkan Yudhoyono untuk kedua kalinya.
Megawati Soekarnoputri berperan penting dalam menciptakan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebuah lembaga yang bertugas untuk melawan korupsi di Indonesia. Ia juga menetapkan sistem pemilihan umum untuk pertama kalinya di mana rakyat Indonesia dapat memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, selain memilih calon anggota legislatif. Akibatnya, ia diberi julukan "Ibu Penegak Konstitusi".[3]
Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sejak memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999. Ia adalah putri sulung presiden pertama Indonesia, Soekarno.
Namanya, Soekarnoputri (berarti 'putri Soekarno'), adalah patronimik, bukan nama keluarga. Orang Jawa sering kali tidak memiliki nama keluarga. Ia sering disebut hanya sebagai Megawati atau Mega, yang berasal dari bahasa Sanskerta berarti 'dewi awan'. Dalam pidatonya di hadapan para siswa SD Sri Sathya Sai, ia menyebutkan bahwa politisi India, Biju Patnaik, menamainya atas permintaan Soekarno.[4][5]
Ketua Partai Demokrasi Indonesia
Megawati tidak terpilih kembali, tetapi tetap menjadi anggota PDI. Pada bulan Desember 1993, PDI mengadakan kongres nasional. Seperti yang selalu terjadi ketika partai-partai oposisi Orde Baru mengadakan kongres, pemerintah aktif ikut campur. Menjelang Kongres, tiga orang bersaing untuk menjadi ketua PDI. Petahana, Soerjadi, menjadi kritis terhadap pemerintah. Kedua, Budi Harjono sosok ramah pemerintah yang didukung pemerintah. Yang ketiga adalah Megawati. Pencalonannya mendapat dukungan luar biasa sehingga pemilihannya di Kongres menjadi formalitas.[9]
Ketika kongres berkumpul, pemerintah terhenti dan menunda upaya untuk mengadakan pemilihan.[9] Kongres menghadapi tenggat waktu ketika izin mereka untuk berkumpul akan habis. Saat jam-jam berlalu hingga akhir kongres, pasukan mulai berkumpul. Dengan waktu tinggal dua jam lagi, Megawati mengadakan konferensi pers, menyatakan bahwa karena dia menikmati dukungan mayoritas anggota PDI, dia sekarang menjadi ketua de facto.[9] Meskipun relatif kurang pengalaman politik, dia populer sebagian karena statusnya sebagai putri Soekarno dan karena dia dipandang bebas dari korupsi dengan kualitas pribadi yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinannya, PDI memperoleh banyak pengikut di kalangan kaum miskin perkotaan dan kelas menengah perkotaan dan pedesaan.[10]
Pemerintah marah karena gagal mencegah kebangkitan Megawati. Mereka tidak pernah mengakui Megawati meskipun pengangkatannya sendiri disahkan pada tahun 1994. Pada tahun 1996, pemerintah mengadakan kongres nasional khusus di Medan yang memilih kembali Soerjadi sebagai ketua. Megawati dan kubunya menolak untuk mengakui hasil dan PDI dibagi menjadi kubu pro-Megawati dan anti-Megawati.[11]
Soerjadi mulai mengancam akan merebut kembali Markas Besar PDI di Jakarta. Ancaman ini dilakukan pada pagi hari 27 Juli 1996.[12] Pendukung Soerjadi (dilaporkan dengan dukungan Pemerintah) menyerang Markas Besar PDI dan menghadapi perlawanan dari pendukung Megawati yang ditempatkan di sana. Dalam pertarungan berikutnya, pendukung Megawati bertahan di markas. Kerusuhan terjadi, diikuti oleh tindakan keras pemerintah. Pemerintah kemudian menyalahkan kerusuhan itu pada Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan tetap mengakui fraksi Soerjadi sebagai partai resmi.[13]
Terlepas dari apa yang tampak sebagai kekalahan politik, Megawati mencetak kemenangan moral dan popularitasnya meningkat. Ketika tiba saatnya untuk pemilihan legislatif 1997, Megawati dan pendukungnya memberikan dukungan mereka di belakang Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai oposisi lain yang disetujui.[14]
Pada pertengahan tahun 1997, Indonesia mulai terkena dampak Krisis Keuangan Asia dan menunjukkan kesulitan ekonomi yang parah. Pada akhir Januari 1998 rupiah jatuh ke hampir 15.000 terhadap dolar AS, dibandingkan dengan hanya 4.000 pada awal Desember. Meningkatnya kemarahan publik terhadap korupsi yang merajalela memuncak dengan pengunduran diri Soeharto dan pengangkatan presiden oleh Wakil Presiden B. J. Habibie pada Mei 1998, memulai era Reformasi. Pembatasan terhadap Megawati telah dihapus dan dia mulai mengkonsolidasikan posisi politiknya. Pada Oktober 1998, para pendukungnya mengadakan Kongres Nasional di mana faksi PDI Megawati sekarang dikenal sebagai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Megawati terpilih sebagai Ketua dan dicalonkan sebagai calon presiden PDI-P.[15]
PDI-P, bersama dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid dan Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amien Rais, menjadi kekuatan reformasi terkemuka. Terlepas dari popularitas mereka, Megawati, Wahid dan Rais mengambil sikap moderat, lebih memilih untuk menunggu sampai pemilihan legislatif 1999 untuk memulai perubahan besar.[16] Pada November 1998, Megawati bersama Wahid, Rais dan Hamengkubuwono X menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan reformasi melalui Pernyataan Ciganjur.
Menjelang pemilu, Megawati, Wahid dan Amien mempertimbangkan untuk membentuk koalisi politik melawan Presiden Habibie dan Golkar. Pada bulan Mei, Alwi Shihab mengadakan konferensi pers di rumahnya di mana Megawati, Wahid dan Amien akan mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama. Di menit-menit terakhir, Megawati memilih untuk tidak hadir, karena dia memutuskan tidak bisa mempercayai Amien.[17] Pada bulan Juni, pemilihan diadakan dan PDI-P menjadi pemenang dengan 33% suara.[18]
Dengan kemenangan tersebut, prospek kepresidenan Megawati semakin kokoh. Dia ditentang oleh PPP yang tidak menginginkan presiden perempuan.[19] Untuk persiapan Sidang Umum MPR 1999, PDI-P membentuk koalisi longgar dengan PKB. Menjelang Sidang Umum MPR, sepertinya pemilihan presiden akan diperebutkan antara Megawati dan Habibie, tetapi pada akhir Juni, Amien telah menarik partai-partai Islam ke dalam koalisi yang disebut Poros Tengah.[17] Pemilihan presiden menjadi perlombaan tiga arah ketika Amien melontarkan gagasan untuk mencalonkan Wahid sebagai presiden; namun Wahid tidak memberikan tanggapan yang jelas atas usulan tersebut.